Kamis, 22 Juli 2010

ANGKATAN 50

ANGKATAN 1950
Nama : Farid Latif : 2008 – 35 - 030
Meis Pollatu : 2004 – 35 - 161
Sitti Nur A. Mandar : 2008 – 35 - 062

Disebut juga Generasi Kisah (nama majalah sastra). Di masa ini sastra Indonesia sedang mengalami booming cerpen. Juga marak karya-karya teater dengan tokohnya Motenggo Boesye, Muhammad Ali Maricar, W.S. Rendra (sekarang Rendra saja).Mulai tumbuh sarasehan-sarasehan sastra terutama di kampus-kampus. Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya. Sesungguhnya secara instrinsik cirri-ciri sastra terutama struktur estetiknya angkatan 45 dan angkatan 50 sukar dibedakan sebab gaya angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan loleh angkatan 50. hanya saja, dengan adanya pergantian situasi dan suasana tanah air dari perangke perdamaian, darimasa transisi penjajahan ke kemerdekaan, maka para sastrawan mulai memikirkan asalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan. Begitu juga para sastrawan mulai membuat orientasi baru dengan mencari bahan-bahan dari sastra dan kebudayaan Indnesia sendiri. Semuanya itu dituangkan kedalam karya-karya sastra mereka.
Disamping itu, karena adanya berbagai ide politik yang dianut I ndonesia, terutama karena system demokrasi parlementer pada periode itu, maka timbul parta-partai politik lagi, yang selama perang kegiatannya terbatas. Tiap-tiap partai besar mempunyai lembag kebudayaan, seperti PNI mempunyai LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) partai Islam mempunyai Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Nasional), PKI mempunyai lekra (Lembaga Kbudayaan Rakyat). Maka corak kesusastraan Indonesia pada periode itu menjadi bermacam-macam Lesbumi dengan ide keislamaan. LKN dengan ide kenasionalan. Lekra dengan ide kemanusiaan dengan semboyan “seni utntuk rakyat”dan”politik sebagai panglima”.
Sastrawan-sastrawan yang (mulia) menulis dalam periode ini pada decade 50-an diantaranya Kirdjomuljo, WS Rendra, Ajib Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Ramadhan KH, Nugroho Notosanto, Subagio Sastrowadojo, Mansur Samin, N.H. Dini, Trisnojuwono, Rijono Pratikno, Alexandre Leo, Jamil Suherman, Bokor Hutusahut, Bastari Asnin, B. Sularto, Motinggo Busye Nasjah Djamin, Mohamad Diponegoro, Toha Mochtar, Ratmono Sn. Piek Ardidyanto, Hartojo Andangjaya, dan sebagaiannya.
Para sstrawan lekra yang menonjol diantaranya Bakri Siregar (Angkatan 45), Klara Akustia (A.S. dharta), S. Ananta, F.L. Risakota, H.R. Bandaharo, dan Sabron Aidit. Sastrawan-sastrawan yang mulai menulis pada decade 60-an diantaranya: Umar Kayam, Sapardji Djoko Damono, Darmanto Jt, Goenawan Mohamad, Bur Rasuanto, Taufik Ismail, KUnto Wijoyo, Fudoli Zaini, Danarto, Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Abdul Hadi W.M.
Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Peristiwa penting pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan diantara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Dari sebagian saja sastrwan yang namanya dideretkan disini, tampak bahwa jumlah karya sastra mereka sangat banyaknya dalam kurun waktu 20 tahun itu. Cirri-cirinya sebagai berikut.

a.cirri struktur estetik
puisi :
1.gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembngnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik.
2.gaya mantra mulai tampak balada-balada
3.gaya ulangan mulai pada berkembang (meskipun sudah dimulai oleh angkatan 45)
4.gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan karya gaya angkatan 45.
5.gaya slogan dan retorik makin berkembang.

Prosa :
Dalam hal prosa, rupa-rupanya cirri-ciri struktur estetik angkatan 45 masih tetap diteruskan oleh periode 50 ini hingga pada dasarnya tak ada perbedaan cirri struktur estetik prosa ini baru tampak jelas dalam periode 70.
Hanya saja pernah dikatakan bahwa gaya bercerita pada periode angkatan 50 ini adalah gaya murni bercerita, dalam arti, gaya bercerita hanya menajikan cerita saja, tanpa menyisipkan komentar, pikiran-pikiran sendiri, atau pandangan-pandangan semuanya itu melebur dalam cerita seperti puisi imajisme yang hanya menyajikan imaj-imaji berupa lukian atau gambaran, sedangka pikiran, tema, kesimpulan, terserah pada pembaca bagaimana menafsirkannya. Inilah yang merupakan perbedaan pokok dengan cerita rekaan angkatan 45 misalnya jelas seperti cerpen-cerpen Subagio Sastrowardojo, Trisnojuwono, dan Umar Kayam. Dengan hanya disajikannya cerita murni ini, maka alur menjadi padat.
b.cirri-ciri ekstra estetik
puisi :
1.ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan
2.mengungkapkan masalah-masalah social, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup
3.banyak mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.

prosa
1.cerita perang mulai berkurang
2.menggambarkan kehidupan sehari-sehari
3.kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap seperti tampak dalam novel Toha Mochtar pulang, Bokor Hutasuhut : Penakluk Ujung Dunia, dan cerpen-cerpen Bastari Asnin : Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Bastari Asnin Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Yusah Ananda
4.banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
Visi-misi dari angkatan 50 ini adalh .Memantulkan kehidupan masyarakat yang masih harus terus berjuang dan berbenah di awal-awal masa kemerdekaan lewat karya sastra. Menghadirkan karya sastra Indonesia dengan menggunakan bahan dari sastra dan kebudayaan Indonesia sendiri.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
Pramoedya Ananta Toer
Kranji dan Bekasi Jatuh (1947)
Bukan Pasar Malam (1951)
Di Tepi Kali Bekasi (1951)
Keluarga Gerilya (1951)
Mereka yang Dilumpuhkan (1951)
Perburuan (1950)
Cerita dari Blora (1952)
Gadis Pantai (1965)
Nh. Dini
Dua Dunia (1950)
Hati jang Damai (1960)
Sitor Situmorang
Dalam Sadjak (1950)
Djalan Mutiara: kumpulan tiga sandiwara (1954)
Pertempuran dan Saldju di Paris (1956)
Surat Kertas Hidjau: kumpulan sadjak (1953)
Wadjah Tak Bernama: kumpulan sadjak (1955)
Mochtar Lubis
Tak Ada Esok (1950)
Jalan Tak Ada Ujung (1952)
Tanah Gersang (1964)
Si Djamal (1964)
Marius Ramis Dayoh
Putra Budiman (1951)
Pahlawan Minahasa (1957)
Ajip Rosidi
Tahun-tahun Kematian (1955)
Ditengah Keluarga (1956)
Sebuah Rumah Buat Hari Tua (1957)
Cari Muatan (1959)
Pertemuan Kembali (1961)
Ali Akbar Navis
Robohnya Surau Kami - 8 cerita pendek pilihan (1955)
Bianglala - kumpulan cerita pendek (1963)
Hujan Panas (1964)
Kemarau (1967) Toto Sudarto Bachtiar
Etsa sajak-sajak (1956)
Suara - kumpulan sajak 1950-1955 (1958)
Ramadhan K.H
Priangan si Jelita (1956)
W.S. Rendra
Balada Orang-orang Tercinta (1957)
Empat Kumpulan Sajak (1961)
Ia Sudah Bertualang (1963)
Subagio Sastrowardojo
Simphoni (1957)
Nugroho Notosusanto
Hujan Kepagian (1958)
Rasa Sajangé (1961)
Tiga Kota (1959)
Trisnojuwono
Angin Laut (1958)
Dimedan Perang (1962)
Laki-laki dan Mesiu (1951)
Toha Mochtar
Pulang (1958)
Gugurnya Komandan Gerilya (1962)
Daerah Tak Bertuan (1963)
Purnawan Tjondronagaro
Mendarat Kembali (1962)
Bokor Hutasuhut
Datang Malam (1963


ADA TILGRAM TIBA SENJA
W.S. RENDRA

Ada tilgram tiba senja
Dari pusar kota yang gila
Disemat di dada Bunda.
(BUNDA LETIHKU TANDAS KE TULANG
ANAKDA KEMBALI PULANG)
Kapuk randu! Kapuk randu!
Selembut tudung cendawan
Kuncup-kuncup di hatiku
Pada mengembang bermekaean.

Dulu ketika pamit mengembara
Kuberi ia kuda bapanya
Berwarna sawo muda
Cepat larinya
Jauh perginya.

Dulu masanya rontok asam jawa
Untuk apa kurontokkan air mata.?
Cepat larinya
Jauh perginya.

Lelaki yang kuat biarlah menuruti darahnya
Menghunjam ke rimb dan pusar kota
Tinggal Bunda di rumah menepuki dada
Melepas hari tua, melepas doa-doa
Cepat larinya
Jauh perginya.

Elang yang gugur tergelatak
Elang yang gugur terrebah
Satu harapku pada anak
Ingat’kan pulang panila lelah

Kecilnya dulu meremasi susuku
Kini letih pulang ke ibu
Hartiku tersedu
Hatiku tersedu.

Bunga randu! Bunga randu!
Anakku lanang kembli kupangku.

Darah, o, darah
Ia pun lelah
Dan mengerti artinya rumah.

Rumah mungil berjendela dua
Serta bunga di abndulnya
Bukankah itu mesra?

Ada podang pulang ke sarang
Tembangnya panjang berulang-ulang,
Pulang, ya pulang, hai petualang!

Ketapang. Ketapang yang kembang
Berumpun di perigi tua
Anankku datang anankku pulang
Kembali kucium, kembali kuriba

(Ballada orang-orang tercinta, 1959 : 26-27)

Senin, 19 Juli 2010

sepenggal kisah

OMBAK
(buku harian abadi)



Aku tak perduli
Meski jalan hidup penuh duri

Aku tak perduli
Bila harus menjadi meneger perusahaan sulit

Bahkan aku lebih tidak perduli lagi
Meski harus disuap tangan kuli

aku akan peduli
Bila riuhmu berteriak hampa
Sebab duri ini menusuk akan hilang
Mengabut di akhir gulunganmu
Sebab sesulit apapun bernafas di dunia ini
akan lebih sulit lagi
bila tak menulis harian di deru suaramu

maka tetaplah menari
diatas riuhnya nada-nada alam
dan bila pagi mengintip kuucap untukmu salam

maka teruslah bergulung berkejaran
dibawah bangau yang bersiulan
dan bila terik siang membakar jeritanmu jadi pelarian

lalu jika malam menutup hidup
sang surya meredup
maka kau lembarannya, tempat langkah-langkahku hari ini
kutuliskan disana

karena hamparanmu
adalah kertas abadi
dalam buku harian hidupku








OMBAK
( inspirasi bisu )


Saat tak ada lagi sebuah harapan
Diantara keharusan tuk mengambil sebuah keputusan
Gulunganmu adalah inspiran
Yang merujuk diriku pada sebuah pendirian

Saat patah dan hilang arah
Semua masa berlalu dengan amarah
Riakmu membawa dingin. Merubah

Dan seratus dari seratus kekesalan
Serta seribu dari seribu kesenangan
Semuanya kau rasakan
Lalu kembali hadirkan riuhnya kata-kata pembangun jiwa

Dan tiap kebuntuan
Ditiap-tiap gang sempit kehidupan
Berubah jadi lorong melebar

Saat semua daya dan upaya
Berhenti menepi disudut gelap kegagalan
Musnah menghampa, jadi awal tuk melangkah maju

AKU harus berjiwa besar
Tuk mentapmu dan berkata
TERIMAKASIH atas kesetia’an
Sebab kau adalah inspirasi meski tanpa sua bagiku
















OMBAK
(semua dalam segala)

Riuhmu suara hatiku
Teduhmu nyanyian Qalbuku
Dan segalamu adalah jiwaku

Sebab kau adalah mangkuk kesetia’an
Tempat kucurahkan air mata didalamnya
Karena kau adalah lagu kegembiraa’
Tempat kudendangkan simponi kesenangan
Dalam nada-nadanya

Saat membludak lusinan amarah untukku
Kakimu yang mengelus ketabahan
Agar kulihat adanya sebuah pengajaran

Saat menumpuk bagiku cercaan
Riakmu mengusap bening di mata hati
Lalu kulihat disana ada sebuah ketegaran

Aku yang menangis
tapi kau yang terluka

aku yang menjerit
tapi kerongkonganmu yang serak

aku yang lemah
tapi kau yang pingsan dan rebah

kurasakan kau
adalah semua dalam segala
tempat tercurah setiap isi serta rasa

kurasakan kau dan aku
seperti urat dalam nadi
nadi dalam denyut
dan denyut dalam nafas
bak udara dalam angin

SEMUA DALAM SEGALA

Minggu, 18 Juli 2010

PETUNJUK MID SEMESTER TEORI SASTRA

1. ANDA DIMINTA UNTUK MEMBACA DAFTAR BACAAN YANG TELAH DISEDIAKAN
2. MASING-MASING PESERTA MATA KULIAH MENDAPAT SATU JUDUL BACAAN 
3. JUDUL MACAAN DAPAT DIPEROLEH DI PERPUSTAKAAN DAN TOKO BUKU GRAMEDIA
4. HASIL MID PALING LAMBAT DITERBITKAN PADA SENIN, 26 JULI 2010 DAN          DIKUMPULKAN PADA SELASA, 27 JULI 2010
5. KETERLAMBATAN MENGUMPULKAN HASIL MID DIDENDA DENGAN BERKURANGNYA
   NILAI 20 PADA NILAI  MID YANG TELAH DICAPAI.
6. NILAI DAPAT DILIHAT BERSAMA DENGAN NILAI TUGAS DAN NILAI TES AWAL 
   SETELAH ADA INFORMASI MELALUI SMS.
7. SELAMAT BEKERJA 

DAFTAR BACAAN :
KODE :   001  -  CINTA DI DALAM GELAS ( ANDREA WIRATA )
KODE :   002  -  PERAWAN SUCI DARI BASRAH ( WIDAD EL SAKKAKINI )
KODE :   003  -  DEMI CINTAKU PADAMU ( WIWID PRASETYO )
KODE :   004  -  DUA IBU ( ARSWENDO ATMOWILOTA )
KODE :   005  -  ALL SHE EVER WANTED ( PATRICK REDMOND )
KODE :   006  -  SURAT CINTA DARI BUKIT ZION ( LUQMAN HAKIM GAYO )
KODE :   007  -  TIRAI MENURUN DAN LA BARKA ( NH. DINI )
KODE :   008  -  CINDERELLA IN PARIS ( SARI MUSDAR )
KODE :   009  -  MENJADI TUA DAN TERSISIH ( VANNY CHRISMAW)

ANGKATAN 30 (ANGKATAN PUJANGGA BARU)

1. Latar Belakang

Pujangga baru adalah majalah kesusastraan yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1933 di Jakarta (waktu itu Batavia). Para pendirinya adalah Sutan Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane. Penerbitan majalah ini berhenti pada saat invasi Jepang ke Hindia Belanda pada tahun 1942.
Angkatan Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan.
Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistik dan elitis menjadi "bapak" sastra modern Indonesia.
Pada mulanya, Pujangga baru adalah nama majalah sastra dan kebudayaan yang terbit antara tahun 1933 sampai dengan adanya pelarangan oleh pemerintah Jepang setelah tentara Jepang berkuasa di Indonesia.
Adapun pengasuhnya antara lain Sultan Takdir Alisjahbana, Armein Pane, Amir Hamzah dan Sanusi Pane. Jadi Pujangga Baru bukanlah suatu konsepsi ataupun aliran. Namun demikian, orang-orang atau para pengarang yang hasil karyanya pernah dimuat dalam majalah itu, dinilai memiliki bobot dan cita-cita kesenian yang baru dan mengarah kedepan.


2. Peristiwa Penting yang Terjadi pada Masa Angkatan Pujangga Baru

Seperti telah disinggung diatas, pada zaman pendudukan Jepang majalah Pujangga Baru ini dilarang oleh pemerintah Jepang dengan alasan karena kebarat-baratan. Angkatan Pujangga Baru (1930-1942) dilatarbelakangi kejadian bersejarah “Sumpah Pemuda” pada 28 Oktober 1928.
Ikrar Sumpah Pemuda 1928:
• Pertama Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
• Kedoea Kami poetera dan poeteri indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
• Ketiga Kami poetera dan poeteri indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

3. Visi dan Misi Angkatan Pujangga Baru

Melihat latar belakang sejarah pada masa Angkatan Pujangga Baru, tampak Angkatan Pujangga Baru ingin menyampaikan semangat persatuan dan kesatuan Indonesia, dalam satu bahasa yaitu bahasa Indonesia.

4. Ciri-Ciri Sastra Pada Masa Angkatan Pujangga Baru
 
 Sudah menggunakan bahasa Indonesia
 Menceritakan kehidupan masyarakat kota, persoalan intelektual, emansipasi (struktur cerita/konflik sudah berkembang)
 Pengaruh barat mulai masuk dan berupaya melahirkan budaya nasional
 Menonjolkan nasionalisme, romantisme, individualisme, intelektualisme, dan materialisme.


5. Pengarang dan Karya Sastra Pujangga Baru


• Sutan Takdir Alisjahbana
o Dian Tak Kunjung Padam (1932)
o Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
o Layar Terkembang (1936)
o Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
o Kalah dan Manang
• Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938)
o Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
o Tuan Direktur (1950)
o Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
• Armijn Pane
o Belenggu (1940)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa - kumpulan sajak (1960)
o Djinak-djinak Merpati - sandiwara (1950)
o Kisah Antara Manusia - kumpulan cerpen (1953)
• Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
o Kertajaya (1932)
• Tengku Amir Hamzah
o Nyanyian Sunyi (kumpulan puisi:1954)
o Begawat Gita (1933)
o Setanggi Timur (1939)
o Buah Rindu (1950)
• Rustam Effendi
o Bebasari (1953)
o Pertjikan permenungan (1957)
• Muhammad Yamin
o Drama Ken Arok dan Ken Dedes (1951)
o Indonesia Tumpah Darahku (1928)
o Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
o Tanah Air (1920)
Pelopor Angkatan Pujangga Baru adalah Sutan Takdir Ali Syahbana, Armjin Pane, dan Amir Hamzah.




CONTOH KARYA :

TANAH AIR

Pada batasan, Bukit Barisan
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampak hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku,
Sumatra namanya, tumpah darahku.

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunumg bukit, lemah sedikit;
Lauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunumg satu per satu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
Firdaus Melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.

Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala
Itulah laut, Samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai

Memecah ke pasir, lalu berderai,
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!

(Jong Sumatra, Th. III, no. 4, April 1920, h. 52)

KELOMPOK ANGKATAN 30 :
1.  RAMAYLA
    NIM. 2008-35-046
2.  SURADIN BUTON
    NIM. 2007-35-047
3.  YUDIT WATMARESAN
    NIM. 2004-35-018